Women Research Institute

Promoting women leadership and inclusive,
gender-based, and sustainable natural resource governance

Sumber: Bisnis Indonesia, Rabu, 21 Januari 2009

Hilda Sabri Sulistyo


JAKARTA (bisnis.com): KPU ditantang membuat peraturan yang dapat mengakomodasi tindak affirmasi (affirmative action) untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen mengingat semakin dekatnya pelaksanaan Pemilu 2009.


"Seharusnya KPU berani membuat terobosan hukum membuat peraturan yang memungkinkan keterwakilan perempuan secara proporsial untuk mengakomodasi affirmativre action dan Zipper System yang memungkinkan satu caleg perempuan diletakkan di antara tiga caleg," kata Lena Maryana Mukti, anggota DPR 2004-2009 yang juga caleg PPP Pemilu 2009.

Sumber: VIVAnews, Rabu, 21 Januari 2009

Siswanto, Mohammad Adam

 

Semakin tinggi persentase perolehan suara bilangan pembagi pemilih.

 

VIVAnews – Peluang perempuan dapat meraih kursi di parlemen makin tipis. Itu merupakan dampak penerapan sistem suara terbanyak untuk menentukan calon legislator di pemilihan legislatif April 2009.


"Calon perempuan yang dapat melewati 10 persen bilangan pembagi pemilih hanya separuh dari calon laki-laki,” kata Ani Sucipto, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dari Universitas Indonesia, Rabu 21 Januari 2009.

Sumber: Kompas, Kamis 22 Januari 2009

 

Jakarta, Kompas - Sistem pemilu yang menerapkan suara terbanyak saat ini harus dihadapi dengan kerja keras dan keberanian untuk terjun ke lapangan di setiap daerah pemilihan.

 

Selain itu, kalangan perempuan yang didukung para aktivis perempuan bisa mengajukan berbagai upaya hukum untuk langkah lain agar keterwakilan perempuan di parlemen dapat meningkat.

Sumber: JurnalPerempuan.com, 23 Januari 2009
Jurnalis Kontributor: Adriana Rahajeng

 

JurnalPerempuan.com-Jakarta. Putusan MK No.22 dan 24 yang membatalkan Pasal 214 UU Pemilu 2008 telah membuat perjuangan perempuan untuk mendapatkan keterwakilan 30% dalam legislatif kembali ke titik nol. Sistem zipper yang dicanangkan sebagai salah satu bentuk affirmative action, tidak akan berpengaruh banyak dengan terbitnya putusan itu. Jangankan caleg perempuan pada ‘nomer sepatu’ (nomer besar-red), caleg perempuan ‘nomer jadi’ pun belum tentu terpilih dengan adanya sistem suara terbanyak. Melihat hal ini, apakah keterwakilan 30% perempuan benar-benar menjadi perhatian pemerintah atau hanya sekedar wacana belaka?

Sumber: Sinar Harapan, 23 Januari 2009

 

Jakarta – Pemerintah perlu mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mengakomodasi tindakan afirmatif (affirmative action) yang diharapkan mampu mendukung perolehan suara untuk keterwakilan perempuan. Ini karena kebijakan seperti itu tidak cukup diatur dengan peraturan KPU.

 

Peneliti Women Research Institute (WRI) Aisyah Putri, kepada SH, Jumat (23/1) mengatakan, pembuatan perppu akan lebih baik dibandingkan pengaturan affirmative action hanya diatur dalam peraturan KPU. Ini karena secara hierarki perundang-undangan, perppu lebih kuat daripada peraturan KPU.